infoindonesiainews.com | RABU, 13 APRIL 2022.
OPINI
JAKARTA | Kebencian dan kekerasan kolektif acapkali dimulai dari satu tempat tak terduga : IMAGINASI KITA. Imaginasi yang terus dibangun, bahwa sebagai rakyat ataupun sebagai muslim, terpinggirkan, tergusur, tersingkirkan oleh kelompok lain.
Bahwa keberadaan kita rentan dipunahkan. Ketika satu imaginasi itu berhasil dibangkitkan, tak ayal orang-orang tergugah. Mereka akan memilih bergantung pada politisi atau tokoh yang merepresentasikan kegalauan mereka. Padahal mereka adalah orang-orang yang garang dijalanan, tapi gagal di kehidupan.
Asas-asas ketakutan dan kemurkaan adalah pakemnya. Jargon-jargonnya berseliweran : pemimpin zalim bak Fir’aun, Islam tertindas, ulama dikebiri, negara genting, hutang menggunung, PKI bangkit dan masih banyak lagi.
Resultannya, Mereka akan mengintimidasi, mengancam, atau menghabisi siapapun yang dianggap berbeda. Tapi semua itu dimulai dengan memberi stereotip semisal : penista agama, antek asing-asing, anti islam dan beragam stempel yang memberi posisi diametral : Islam versus kaum munafik-kafir.
Dan Ade Armando salah satu tokoh yang berada di titik simpul polarisasi itu. Stempel penista agama, telah disematkan, sebetapapun argumen-argumen Ade Armando selama ini sejatinya terlalu masih debatable, untuk di anggap sebagai penista. Dan faktanya, hukum positif sama sekali tidak menyentuhnya karena sejatinya apa yang diungkapnya selama ini punya ruang tafsir, pendapat, kekritisan, prokontra, dan autokritik terhadap agama yang dianutnya.
Tidak banyak pejuang demokrasi sekaligus pembuka ekosistem demokrasi pada ranah agama ini. Karena implikasinya, berbahaya dan luas. Dan dia berani dengan segala resiko itu.
Akibatnya bisa kita saksikan sendiri : kekerasan tanpa kenal ampun di 11 April 2022.
Aktor pelaku pengeroyokan utama bukan oleh mahasiswa. Tapi di duga oleh orang-orang dengan penyangga imaginasi tadi yang tak pernah berpijak pada fakta. Termasuk komen-komen media sosial yang bukan prihatin pada kekerasan tapi justru tertawa bahagia. Imaginasi yang sulit tersingkir dari otak. Karena menumpuk dan tak kunjung selesai, akibat landskap politik yang masih itu-itu saja.
Imaginasi ini, perkakas mobilisasi politik paling ampuh saat ini. Dan realitasnya, sebagian politisi sangat menikmatinya.
Mungkin anda pernah mendengar kata inspiratif Einstein : “Imaginasi lebih penting dibandingkan pengetahuan.” Tapi ironinya, bagi bangsa kita saat ini, berjalan untuk menciptakan jurang perbedaan yang justru makin mendalam.
Bagi WAG The Lovers Ade Armando adalah pejuang demokrasi dan toleransi. Tapi bagi yang lain bisa sebagai penista agama dan buzzer ember pemerintah.
Bagi kami Group WAG The Lovers menganggapnya intelektual organik yang langsung berada ditengah- tengah kita, tapi bagi yang lainnya justru menyepelekannya.
Ade Armando boleh saja pernah teraniaya sampai dititik nadir hidup matinya. Sementara sejarah terus saja mencatat ini sebagai arogansi dramatikal akibat perkawinan Radikalisme dan politik.
Dan apa yang terjadi pada Ade Armando, bisa juga terjadi pada kita. Karena kita semua telat menyadari “kemesraan tabu” politik-radikalisme yang cenderung kita sepelekan. Padahal turbulensinya saja bisa menghancurkan bangsa ini.
“Semoga Cepat sembuh Bung Ade Armando. Sang buzzer demokrasi & toleransi”
Group WAG The Lovers
Group Pro Demokrasi
NARASUMBER PEWARTA : SAM. EDITOR RED : LIESNA EGA.














