infoindonesiainews.com | BANDUNG BARAT, JABAR – Disaat distribusi sekolah telah merata, maka sistem kuota selayaknya tidak lagi diterapkan. Jangan sampai mimpi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan terputus gara-gara program penerapan sistem seleksi yang tak sempurna tersebut.
Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik pada satu sisi memang memiliki manfaat pada pemerataan kualitas pendidikan. Namun, di sisi lainnya dapat berdampak pada bertambah dan meningkatnya anak putus sekolah pada setiap jenjang pendidikan setiap tahunnya.
Namun, kondisi tersebut baru akan tercapai jika didukung fasilitas yang memadai dan merata. Dan salah satu unsur penting yang harus terpenuhi demi mencapai keberhasilan sistem zonasi tersebut adalah dalam penerimaan siswa baru yaitu adanya ketersediaan sekolah. Tanpa hal itu, mustahil sistem zonasi dapat diterapkan secara optimal. Sedangkan di Bandung Barat untuk SMA Negeri saja jumlah ketersediaan Sekolahnya masih terbatas.
Sayangnya, syarat utama tersebut belum terpenuhi hingga saat ini, dan Jumlah sekolah pada setiap daerah tidak terdistribusi dengan merata. Dampaknya, muncul wilayah-wilayah yang tak terakomodasi dalam sistem zonasi tersebut yang merugikan bagi Siswa yang memiliki potensi dan prestasi, namun tidak dapat lolos dalam verifikasi sistem tersebut.
Melihat jumlah sekolah di Indonesia, pola piramida masih terlihat jelas dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit jumlah sekolah yang tersedia. Kondisi ini menyiratkan perlunya kompetisi ketat untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama untuk masuk ke sekolah negeri.
Dampak dari Sistem :
- Putus sekolah : Apabila sekitar 36 persen saja pelajar tak tertampung di sekolah negeri , maka Kondisi ini dapat menggambarkan sarana pendidikan yang belum merata di setiap jenjang pendidikan. Dan Penerapan sistem zonasi justru dapat berimplikasi negatif.
- Munculnya hambatan bagi pelajar dari keluarga prasejahtera yang berdomisili jauh dari sekolah negeri. Pada satu sisi, pelajar dari golongan ini kemungkinan besar gagal diterima ,karena kalah bersaing dari sisi jarak dengan pelajar yang berdomisili lebih dekat dari sekolah.
Pemerintah melalui Kemendikbud memang memberikan kuota afirmasi bagi pelajar dari kalangan masyarakat prasejahtera. Namun, kuota yang diberikan hanya 15 persen dari total pelajar yang diterima. Praktis, pelajar dari golongan masyarakat prasejahtera tetap harus bersaing demi mendapatkan tempat. Jika gagal di sekolah negeri, mendaftar ke sekolah swasta belum tentu dapat dilakukan mengingat keterbatasan finansial. Kondisi ini menjadi faktor pendorong anak putus sekolah karena gagal pada sistem zonasi.
Alternatif:
1.Sekolah Swasta : Melalui sistem yang kini diterapkan, prinsip pemerataan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pelajar dari keluarga mampu yang berdomisili dekat dengan sekolah negeri dapat merasakan pendidikan dengan biaya murah. Namun, pelajar dari keluarga prasejahtera yang jauh dari sekolah negeri harus membayar biaya lebih tinggi, karena harus melanjutkan ke sekolah swasta dengan biaya yang tak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah.
Persaingan dalam sistem zonasi terlihat sangat ketat berdasarkan jarak kedekatan dengan sekolah. Antisipasi Anak Putus Sekolah akibat Zonasi Ketika distribusi sekolah telah merata, maka sistem kuota selayaknya tidak lagi diterapkan. Jangan sampai mimpi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan terputus gara-gara penerapan sistem seleksi yang tak sempurna.
Namun, kondisi itu baru akan tercapai jika didukung fasilitas yang memadai dan merata. Salah satu unsur penting yang harus terpenuhi demi mencapai keberhasilan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru adalah ketersediaan sekolah. Tanpa hal itu, mustahil sistem zonasi diterapkan secara optimal.
Sayangnya, syarat utama ini belum terpenuhi hingga sekarang. Jumlah sekolah pada setiap daerah tidak terdistribusi merata. Dampaknya, muncul wilayah-wilayah yang tak terakomodasi dalam sistem zonasi.
Melihat jumlah sekolah di Indonesia, pola piramida masih terlihat jelas dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit jumlah sekolah yang tersedia. Kondisi ini menyiratkan perlunya kompetisi ketat untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama untuk masuk ke sekolah negeri. Artinya, apabila 36 persen pelajar tak tertampung di sekolah negeri, maka akan terbayang Kondisi yang menggambarkan sarana pendidikan yang belum merata di setiap jenjang pendidikan. Penerapan sistem zonasi justru dapat berimplikasi negatif.
Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah munculnya hambatan bagi pelajar dari keluarga prasejahtera yang berdomisili jauh dari sekolah negeri. Pada satu sisi, pelajar dari golongan ini kemungkinan besar gagal diterima karena kalah bersaing dari sisi jarak dengan pelajar yang berdomisili lebih dekat dari sekolah.
Pemerintah melalui Kemendikbud memang memberikan kuota afirmasi bagi pelajar dari kalangan masyarakat prasejahtera. Namun, kuota yang diberikan hanya 15 persen dari total pelajar yang diterima. Praktis, pelajar dari golongan masyarakat prasejahtera tetap harus bersaing demi mendapatkan tempat. Jika gagal di sekolah negeri, mendaftar ke sekolah swasta belum tentu dapat dilakukan mengingat keterbatasan finansial. Kondisi ini menjadi faktor pendorong anak putus sekolah karena gagal pada sistem zonasi.
Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah munculnya hambatan bagi pelajar dari keluarga prasejahtera yang berdomisili jauh dari sekolah negeri. Tentu saja seorang siswa mengalami putus sekolah tak semata gara-gara penerapan sistem zonasi. Problem ekonomi keluarga dan kondisi penghasilan orangtuanya sangat mungkin turut berperan dalam pertambahan angka putus sekolah. Namun, kebijakan zonasi bisa jadi ikut memperburuk situasi itu.
Persaingan dalam sistem zonasi terlihat sangat ketat berdasarkan jarak kedekatan dengan sekolah. Contoh: SMA Negeri di Bandung Barat, misalnya pada pendaftaran tahap pertama, siswa terakhir yang diterima pada jalur zonasi hanya berjarak maksimal 780 meter dari sekolah. Artinya, pelajar dengan domisili yang lebih jauh dipastikan gagal masuk ke sekolah tersebut.
Dalam jangka pendek, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggandeng sekolah swasta dalam penerapan sistem zonasi. Meski penambahan sekolah swasta tak serta-merta mencukupi kebutuhan sekolah, cara ini setidaknya menambah jumlah sarana sekolah, khususnya pada daerah padat penduduk yang tidak memiliki banyak sekolah negeri. Karena itu, subsidi pendidikan perlu diberikan kepada siswa agar tidak menanggung tingginya biaya pendidikan di sekolah swasta, khususnya bagi pelajar dari kalangan keluarga prasejahtera.
Bahan Evaluasi :
Meski memiliki tujuan positif, sistem zonasi perlu dipersiapkan lebih matang. Kebijakan ini sangat berisiko jika hanya diterapkan pada tahap uji coba, terutama di daerah-daerah yang belum sepenuhnya siap dalam melakukan pemetaan sekolah.
Jika sistem zonasi tetap dilanjutkan, tak ada pilihan selain menyediakan fasilitas sekolah secara merata bagi peserta didik, baik dari sisi jumlah sekolah maupun prasarana penunjang. (Red)
NARASUMBER PEWARTA : RED. EDITOR : LIESNAEGA.