infoindonesiainews.com | SABTU, 10 SEPTEMBER 2022.
JAKARTA | Apa sih pegangan sekaligus panduan utama bagi pejabat publik di Republik Indonesia ini?
Bukankah itu tercantum dalam sumpah jabatannya, yaitu untuk setia dan membela ideologi negara (Pancasila) dan menaati Undang-Undang Dasar 1945?
Maka, dengan adanya kasus di Kota Cilegon soal pelarangan pembangunan rumah ibadah patutlah ditanyakan, apakah Wali Kota Cilegon serta wakilnya itu paham konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Itu tiga pertanyaan pembuka. Dan ini serius.
Di Pasal 29 UUD’45 itu jelas tertera kok, bahwa:
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jelas sekali. Gamblang. Maka kelakuan Wali Kota Cilegon (sebagai representasi negara) yang melarang-larang pembangunan rumah ibadat adalah sebuah bentuk “pengkhianatan” terhadap konstitusi.
Ulah Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta yang ikut-ikutan menandatangani petisi penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Kecamatan Gerem, Kota Cilegon pada Rabu, 7 September 2022 di depan gedung Wali kota Cilegon, Banten itu adalah tindakan inkonstitusional!
Nampaknya kedua pejabat publik itu kecut hatinya saat diperhadapkan dengan massa yang mengatasnamakan Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon. Kearifan lokal? Kearifan lokal macam apa itu?
Akibatnya jadi ramai di media. Kontroversi bermunculan, ada yang bilang bahwa di Kota Cilegon justru yang marak adalah salon-salon plus-plus (alias kegiatan esek-esek). Diskotik juga tidak sedikit. Ini khan hipokrit (alias munafik) sekali.
Alasan tentang dasar penolakan pemberian ijin pendirian rumah ibadah yang disampaikan pejabat publik itu pun ternyata mengada-ada. Duh!
Kabarnya mereka berasal dari Partai Berkarya dan Partai PKS. Lalu tanggung jawab apa yang bakal diperlihatkan kedua partai itu terhadap kadernya masing-masing? Parpolnya jelas tak bisa cuci tangan begitu saja, harus bersikap! Lalu pemerintah provinsinya (Banten) bagaimana? Apa cuma bengong? Kemendagri?
Kementerian agama sudah berupaya sekuatnya untuk mengingatkan dan melakukan pendekatan-pendekatan ke pihak pemerintah kota. Namun rupanya Wali Kota dan wakilnya itu belum merespon dengan baik. Mungkin – sekali lagi – masih kecut hati (alias pengecut) saat berhadapan dengan gerombolan yang mengaku-ngaku sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon itu.
Atau cuma oportunis saja, lantaran takut kehilangan konstituen?
Yang pasti, hal inkonstitusional macam begini tidak bisa dibiarkan. Kalau perlu masyarakat sipil harus bangkit melawan, ya melawan kebodohan dan kebebalan pemerintah kota macam itu.
NARASUMBER PEWARTA :
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. EDITOR RED : LIESNAEGA.