Bagaimana Hubungan Hasil Pemeriksaan Keuangan (WTP) dengan Kondisi Eksisting di lapangan dan DEFISIT ANGGARAN,!?

  • Whatsapp

infoindonesiainews.com | RABU, 10 MEI 2023.

BANDUNG BARAT, JABAR | Banyak komentar yang berkaitan dengan diraihnya kembali opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan Pemda KBB tahun 2022 yang baru saja diumumkan.

Meskipun bernada positif, akan tetapi tampak secara langsung dan tidak langsung, terjadi pembiasan terhadap pengertian defisit anggaran.

Ada yang menyebutkan, bahwa tidak ada kaitan antara WTP dengan defisit, dan defisit itu berada di wilayah perencanaan. Bahkan ada yang berpendapat, WTP tidak berkait dengan kondisi eksisting di lapangan.

Yang lebih menarik, WTP itu merupakan kinerja luar biasa. Padahal jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan tertentu.

Dengan demikian, dapat dikatakan, antara hasil pemeriksaan keuangan yang dituangkan dalam bentuk opini dengan hasil pemeriksaan kinerja berada di wilayah yang berbeda.

Maka dari itu, bahwa produk hasil pemeriksaan keuangan adalah opini, dan produk hasil pemeriksaan kinerja adalah temuan, rekomendasi, dan tindak lanjut.

Anggap saja kita sepakat, bahwa defisit itu berada di wilayah perencanaan, sehingga tidak berkait dengan WTP.

Perlu dikemukakan, bahwa ruang lingkup atau obyek pemeriksaan keuangan yang dilakukan BPK adalah wilayah siklus anggaran yang terdiri dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban, dengan demikian WTP berkaitan dengan defisit.

Lantas bagaimana hubungan hasil pemeriksaan keuangan (WTP) dengan kondisi eksisting di lapangan?

APBD memegang peran sangat penting bagi terwujudkan kesejahteraan masyarakat. APBD dapat bermanfaat secara optimal apabila dalam pengelolaannya memenuhi kaidah ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel.
Inilah WTP.  Sehingga WTP sebagai opini tertinggi hasil pemeriksaan keuangan harus berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui program, proyek dan kegiatan yang direalisasikan di sektor belanja pada APBD.

Yang terakhir, perlu dikemukakan tentang pengertian defisit anggaran. Di wilayah politik anggaran mengenal sistem defisit anggaran, dan sistem surplus anggaran.

Sistem surplus anggaran dapat diterapkan di daerah apabila memiliki kapasitas fiskal daerah yang tinggi sehingga kesenjangan antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal relatif kecil.

Lain halnya dengan daerah yang memiliki kapasitas fiskal sedang atau rendah, maka yang diberlakukan sistem defisit anggaran.

Artinya, dalam fostur APBD tampak sektor belanja lebih besar dibanding dengan pendapatan daerah. Adapun kekurangannya dipenuhi melalui pos pembiayaan sehingga APBD tetap menganut anggaran berimbang.

Namun dikaitkan dengan isu defisit yang terjadi di KBB tidak ada kaitan dengan pengertian defisit di atas. Akan tetapi defisit yang dimaksud berkaitan dengan wilayah realisasi anggaran pada tahun anggaran berjalan.

Dimana posisi kas daerah tidak mampu memenuhi besaran realisasi belanja daerah. Inilah faktanya. Jadi titik lemahnya dimana? Apakah di wilayah perencanaan atau diwilayah penganggaran? Apabila lemahnya di perencanaan berarti penentuan skala prioritas yang berpedoman pada RPJMD perlu dievaluasi kembali.

Apabila lemahnya di wilayah penganggaran, berarti dalam penentuan estimasi penerimaan daerah tidak tepat karena tidak ditunjang oleh validitas data yang memadai.

Bagaimana solusinya? Seperti saran saya dalam tulisan sebelumnya, adalah lakukan rasionalisasi program, proyek, dan kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan pelayanan dasar masyarakat.

Baik program lanjutan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun program prioritas versi bupati yang bernuansa politis. Wallohu A’lam. ***

Oleh
Djamukertabudi
Pemerhati Pemerintah & Politik
Universitas Nurtanio (UNUR)

NARASUMBER : DJAMU KERTABUDHI. PEWARTA : HADI WIBOWO S Sos. EDITOR RED : LIESNAEGA.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan