INFOINDONESIAINEWS.COM| JAKARTA – Terbaca oleh saya nama Stella Christie di WA, semula saya tidak terlalu peduli, tetapi mendadak terbaca kata-kata: saya gagal sebagai ekonom, atau yang semacam itu, sehingga saya melanjutkan untuk membacanya.
Stella ini ngapain mengajukan 4 (empat) pertanyaan, Waduh, ngapain…?! Apaan…?,Pertanyaan saya di dalam hati. Saya membacanya cepat dan tidak sampai dua kali, cukup sekali, karena tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya: “Siapa, sih, Stella ini, Kok, bikin aneh-aneh.!?
Lalu saya coba mencari tahu, siapa dia, ternyata dia adalah Wakil Mendiknas dan Riset dan Teknologi. Oalah…! Ngapain Wowok cari orang macem dia, itu meluncur saja dalam benak dan hati saya, dan ditaruhnya di situ lagi.
Kenapa?! Karena apa yang disampaikannya itu, termasuk pertanyaannya kepada 100 ekonom, begitu dia menyebutnya, tidak relevan untuk disampaikan, dan pula tidak ada gunanya. Kalau itu berguna bagi dirinya, bisa ditanyakan kepada Sri Mulyani, sekalipun 20 tahun Sri juga gagal!
Tentu saja Stella tidak sedang ada di dalam kelas di suatu lantai di Universitas Harvard atau di universitas lain di AS, di mana salahsatu orang dosennya sedang menyampaikan kuliahnya. Mungkin di situ berbagai tanya-jawab bisa berlangsung…
Tentu saja Indonesia juga bukan sebuah ruang kelas yang durasi kuliahnya hanya dua jam atau kurang, atau paling banyak satu quarter , sebelum mata kuliah itu diujikan dalam Ujian Akhir dengan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab para mahasiswanya.
Apakah Stella mau memecahkan soal-soal pembangunan di seputar Indonesia?, Tapi Indonesia juga bukan Amerika Serikat. Delapan tahun Barack Obama tidak bisa membuktikan, bahwa _Yes, We Can!_-nya berhasil. Bahkan, Donald Trump terpotong hanya empat tahun, sehingga tidak mampu membikin America Great Again.
Korea Selatan membutuhkan waktu 15 tahun, sebelum upaya Pemerataan Pembangunan membuahkan hasil. Persis seperti yang disampaikan Simon S. Kuznets, orang Belarus yang hijrah ke AS dan menjadi Guru Besar di Harvard.
Simon tahun 1955 membikin risetnya dan menyimpulkan, bahwa pada awal proses pembangunan inequality akan meningkat, lalu menurun membentuk inverted U-Shape. Simon mendapatkan hadial Nobel dalam Ilmu Ekonomi (1971), Kesejahteraan ekonomi akan meningkat, kalau pertumbuhan dan pemerataan berlangsung bersama-sama.
Di Indonesia teori Kuznets tidak berjalan, pertumbuhan kecil dan pemerataan pun tak berlangsung, karena terjadi kebocoran dalam Keuangan Negara. Menurut Jeffrey Winters, Indonesia mengeluarkan 5 kali lipat dana pembangunan daripada yang seharusnya.
Buat Stella dan para ekonom lain yang mau membikin Indonesia sukses, kembali berlakukan dulu UUD 1945, usir para Oligarki dari Bumi Pertiwi, penjarakan para Bajingan dan Tolol, dan bikin bersih Negara ini dari Koruptor. Kalau Wowok gak setuju, dan maunya memaafkan mereka atau baik-baik saja dengan mereka jatuhkan sekalian Rezim Wowok ganti dengan Rezim Baru pilihan MPR.
Selanjutnya bikinlah Model Ekonomi Indonesia yang meliputi sebanyak mungkin variabel (exogen dan endogen) yang berpengaruh, kalau perlu sampai ribuan, termasuk variabel pertumbuhan dan pemerataan, utang luar negeri, SDM, SDA, serta geo-politik. Maka hanya komputer dan data BPS yang bisa menjawab tantangan ini.
Model ini disimulasikan secara dinamis untuk long-term 15 tahun ke depan! Apa akibat dari “makan gratis” dengan “duit utang” yang bakal terjadi.Bagaimana kalau PPN naik menjadi 12%, bagaimana kalau diturunkan; bagaimana pula kalau PPN diganti PPn (pajak penjualan), bagaimana kalau Wajib Belajar sampai Universitas.
Tanpa model pun bisa dipakai Cara Coba-coba! Tapi, jangan melulu percaya kepada 100 ekonom, apalagi dari UI tempat asal-usul Mafia Berkeley.
Narasumber Pewarta : Hizbullah Indonesia/Suta Widya SH. Editor Red : Egha.