infoindonesiainews.com | JAKARTA – Dengan gayanya yang khas, Jokowi bilang dengan nada santai tapi mendidik. Kepemimpinan itu estafet, artinya melanjutkan apa yang sudah dengan baik dikerjakan oleh pendahulunya. Bukan mulai lagi dari nol, kalau itu seperti meteran di pom bensin.
“Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet, bukan meteran pom bensin. Kalau meteran pom bensin itu dimulai dari nol ya. Ini apa kita mau seperti itu? Endak khan? Masa kayak meteran pom bensin.
Mestinya kalau sudah dari TK, SD, SMP kepemimpinan berikutnya masuk SMA, universitas. Nanti kepemimpinan berikut masuk S2, S3. Tidak maju mundur, poco-poco. ” kata Jokowi. Sederhana, jelas maknanya. Gampang dicerna.
Dianggap bahwa statement ini sebagai respon terhadap pernyataan Anies sebelumnya. Dimana Anies bilang, “…ini bukan soal meneruskan atau tidak meneruskan yang dikerjakan kemarin. Ini soal mencapai tujuan bernegara. Tujuan kita mencapai itu. Bagi yang sekarang sedang bertugas, jangan pernah khawatir. Karena memang tugasnya akan selesai, itu adalah proses 5 tahunan.”
Jelas sekali Jokowi bicara soal keberlanjutan. Kepemimpinan itu ada historikalitasya, tidak memulai dari nol. Tapi menghargai dan meneruskan apa yang telah dikerjakan pemimpin sebelumnya, artinya meneruskan apa yang sudah dilakukan. Apa yang telah dikerjakan sampai jadi mubazir, sia-sia.
Pernyataan Jokowi, maknanya lebih membumi, berakar pada hasil kerja nyata. Janganlah sampai itu semua terbengkalai, atau dimangkrakkan oleh pemimpin berikutnya.
Kalau kita komparasi dengan pernyataan Anies yang terasa terlalu abstrak, berputar-putar dan tidak membumi. Tujuan bernegara seperti sudah kita ketahui bersama adalah: mencapai masyarakat adil dan makmur. Wuihh… abstrak sekali. Terdengarnya mulia, tapi tidak membumi.
Katanya pemimpin sebelumnya tak perlu khawatir, kenapa? karena tugasnya memang akan selesai dan itu adalah proses 5 tahunan. Apa hubungannya? Kolase kata-kata tanpa keherensi.
Ya, apa penjelasannya antara “mencapai tujuan bernegara” dengan “tidak perlu khawatir” dan”tugasnya akan selesai, lantaran itu memang proses 5 tahunan”. Ini sekedar rangkaian kata-kata yang kabur koherensinya.
Bung Karno memang biasa menggunakan istilah “masyarakat adil makmur” dalam retorikanya yang berapi-api. Tapi diikuti dengan ilustrasi sederhana yang gampang dicerna publik. Silahkan baca lagi pidato-pidatonya atau tulisannya.
Singkat cerita, publik tentu sudah berpengalaman dalam menerima narasi tanpa koherensi ala Anies. Jadi ya maklumi saja.
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
NARASUMBER PEWARTA:
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. EDITOR RED : LIESNAEGA.