infoindonesiainews.com | KAMIS, 10 MARET 2022.
JAKARTA | Jangan cepat menyalahkan pengusaha karena pengusaha tidak dilarang untuk mendapatkan untung, tentu saja pengusaha akan mencari bidang yang untungnya lebih banyak,” begitu kata Faisal Basri.
Tentu kita setuju, bahwa insting pengusaha adalah cari untung. Mana ada pengusaha cari buntung?
Kali ini kita pakai saja basis data (dari GAPKI) seperti yang disampaikan Pak Faisal Basri, ekonom senior yang “galak” tapi baik hatinya itu.
Pertama soal ekspor serta konsumsi dalam negeri untuk CPO dan PKO: Tahun 2019 ekspor 37,39 juta ton, konsumsi 16,75 juta ton. Tahun 2020 ekspor turun jadi 34 juta ton, konsumsi naik 17,35 juta ton. Tahun 2021 ekspor naik sedikit jadi 34,2 juta ton, konsumsi naik jadi 18,42 juta ton. Tahun 2022 diprediksi ekspor 33,21 juta ton, konsumsinya 20,49 juta ton.
Sementara data produksi CPO saja disampaikan, tahun 2020: 47 juta ton. Tahun 2021: 46,89 juta ton. Tahun 2022: 49 juta ton.
Kemudian bagaimana dengan penggunaan CPO untuk program Biodiesel versus yang untuk Pangan menurut data Pak Faisal? Begini:
Tahun 2019, untuk Biodiesel 5,83 juta ton, Pangan 9,86 juta ton, total 15,69 juta ton. Tahun 2020: Biodiesel 7,23 juta ton, Pangan 8,42 juta ton, total 15,65 juta ton. Tahun 2021: Biodiesel 7,37 juta ton, Pangan 8,92 juta ton, total 16,29 juta ton. Tahun 2022 diprediksi: Biodiesel 8,83 juta ton, dan Pangan 9,6 juta ton, total 18,43 juta ton.
Maka kita berhitung,
Mulai tahun 2020 saja, produksi CPO 47 juta ton, dikurangi total penggunaan untuk Biodiesel dan Pangan sejumlah 15,69 juta ton. Masih tersisa 31,31 juta ton, ini yang bisa (boleh) diekspor.
Lalu tahun 2021: produksi CPO 46,89 juta ton, dikurangi total untuk Biodiesel dan Pangan sejumlah 16,29 juta ton. Masih tersisa 30,6 juta ton, ini yang bisa (boleh) diekspor.
Kemudian prediksi tahun 2022 ini: produksi CPO 49 juta ton, dikurangi untuk program Biodiesel dan Pangan sejumlah total 18,43 juta ton. Masih tersisa 30,57 juta ton, ini juga yang masih bisa (boleh) diekspor.
Kalau dari data Pak Faisal itu, untuk kebutuhan domestik (baik untuk energi/biodiesel maupun untuk pangan/migor), produksi CPO kita masih lebih dari cukup, atau berlebihan.
Kalau kita disiplin dalam penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) maka tak cukup adekuat untuk serta merta “menuduh” kebijakan biodiesel itu jadi biang kerok kelangkaan migor.
Bukankah kuantitas produksi minyak sawit nyatanya tidak kurang, bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Jadi dimana salahnya?
Soal harga. Memang harga CPO di pasaran internasional per metrik ton sejak tahun lalu (2021) kecenderungannya naik terus. Utamanya di semester kedua, average di atas USD 1000,- Bahkan per September 2021 sempat di USD 1235/metrik ton.
Dengan patokan harga sebegitu tinggi, wajarlah jika melakukan ekspor bakal dapat keuntungan yang lebih tinggi dibanding jualan lokal.
Kaitan antara fluktuasi harga CPO di pasaran internasional adalah soal selisih harga antara bahan campuran Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dengan harga solarnya. Itu yang disubsidi pemerintah.
Kita ingat juga bahwa sebelumnya (Juli 2021) Dirut Pertamina Nicke Widyawati sempat mengeluh dan minta supaya penetapan harga CPO yang untuk program biodiesel ini tidak perlu mengikuti harga pasar dunia. Jadi dipatok saja, supaya ada kepastian tentunya.
Jadi memang CPO untuk keperluan Biodiesel tidaklah diekspor, tetapi harganya dipatok ke harga ekspor. Sehingga konsekuensinya adalah subsidi dari pemerintah juga menyesuaikan terus (atau bahasa lainnya: naik terus!).
Sehingga memang tak ada alasan pengusaha bakal rugi jika jual CPOnya untuk program biodiesel nasional.
Tapi pertanyaan mendasarnya adalah: berapa banyak CPO yang diperlukan untuk program biodiesel B-30 itu? Atau rumusan pertanyaan lainnya adalah: berapa banyak CPO yang bisa/mampu diserap untuk keperluan program biodiesel B-30 (atau bahkan B-40) itu?
Dari data Pak Faisal, prediksi di tahun 2022 ini, produksi CPO 49 juta ton, dikurangi untuk program Biodiesel dan Pangan sejumlah total 18,43 juta ton. Masih tersisa 30,57 juta ton, ini juga yang masih bisa (boleh) diekspor.
Kalau mau diversuskan antara CPO untuk kebutuhan energi atau pangan, maka daya serap keduanya masih jauh di bawah kemampuan produksi CPO nasional. Bahkan jika ada kenaikan penggunaan CPO untuk energi, seiring program campurannya naik terus (B-20, B-30 dan nanti B-40), produksi CPO kita masih sangat mencukupi.
Jadi, kalau untuk kebutuhan CPO dalam negeri, dimana kekurangannya?
Mari sebentar saja kita kembali ke soal harga. Bahwa, tanda-tanda kenaikan harga migor bakal menlonjak sampai 20 ribuan per liter di pasar lokal itu sudah terdeteksi sejak Oktober 2021.
September 2021, dari kisaran 14-15 ribuan lalu naik di bulan Oktober jadi 16-17 ribuan, terus merambat sampai saat nataru dimana harganya lepas kendali. September, Oktober, November, Desember, Januari, Februari dan sekarang Maret: sudah setengah tahun!
Sehingga dengan demikan kita berfikir bahwa,
Program biodiesel bukanlah penyebab utama kelangkaan migor? Memang ada trend kenaikan untuk program energi seperti diceritakan Faisal Basri, tapi itu belum cukup kuat untuk bisa menjustifikasi biodiesel sebagai penyebab kelangkaan migor. Faktanya kemampuan produksi CPO nasional jauh melebihi pemakaian domestik (baik itu untuk energi plus pangan).
Namun, ada laporan dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) per Senin 7 Maret 2022 bahwa telah ada enam produsen minyak goreng yang berhenti produksi. Kenapa? Karena tidak mendapat pasokan CPO (crude palm oil)! …ini aneh, tapi nyata.
Sehingga kita pun bertanya-tanya,
Apakah seretnya pasokan CPO untuk industri migor domestik ini gegara semata soal “administrasi” di kementerian perdagangan? Seperti yang diindkasikan oleh Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI) yang sempat bilang, “Nah itu dia (ada kendala), perlu percepatan izin ekspor kayaknya.”
Apa yang dimaksud beliau, kok terkait dengan izin ekspor?
Menurutnya ada kendala pada perizinan ekspor CPO ke luar negeri, dan ini turut menghambat proses percepatan pemenuhan bahan baku murah untuk minyak goreng domestik. “Harusnya kalau izin ekspor lancar pasokan untuk DMO juga lancar,” kata Joko Supriyono.
Memang dalam Permendag 02/2022 (ditetapkan 18 Januari 2022) tertulis bahwa ekspor bisa dilakukan dengan melengkapi persyaratan: “Surat Pernyataan Mandiri bahwa Eksportir telah menyalurkan Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil untuk kebutuhan dalam negeri, dilampirkan dengan kontrak penjualan.”
Jadi apakah ada semacam saling sandera begitu? Kalau ijin ekspor belum diberi maka walau sudah ada kontrak penjualan dalam negeri namun barang belum bisa (mau) di delivery? Walahuallam.
Atau… memang ada sementara pihak yang tetap nekad “mengekspor” dengan akal-akalan gaya mafia kerah-putih yang halus bin licin bin licik bin lihay bin sialan? Ya, walahuallam juga sih.
Untuk yang terakhir ini memang perlu pendalaman materi lebih lanjut. Begitu dalamnya materi yang perlu didalami, sehingga perlu “penyelam-penyelam” kelas wahid agar mampu menyelaminya.
Motif untuk “nekad eskpor” nya memang ada, yaitu harga pasaran internasional yang tinggi, maka bisa mendatangkan cuan lebih gede. Toh serapan untuk program biodiesel walaupun naik tapi belum mampu menyerap seluruh hasil produksi dengan harga patokan ekspor bukan?
Lagi pula yang jelas, Permendag No.2/2022 itu memang tidak melarang ekspor. Asalkan syarat-syaratnya bisa dipenuhi. Faham khan?
Ingat kata Faisal Basri di atas tadi, “…jangan cepat menyalahkan pengusaha karena pengusaha tidak dilarang untuk mendapatkan untung, tentu saja pengusaha akan mencari bidang yang untungnya lebih banyak.”
NARASUMBER PEWARTA :
ANDRE VINCENT WENAS, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA KAJIAN STRATEGIS (LKS) PERSPEKTIF, JAKARTA. EDITOR RED : LIESNA EGA.