infoindonesiainews.com | JUM’AT, 28 OKTOBER 2022.
OPINI
JAKARTA | Sebagai inisiator, DPR telah menyiapkan draft RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) sejak Januari 2021. Naskah akhir diserahkan DPR kepada pemerintah pada 29 Juni 2022. Namun pemerintah lamban menyampaikan daftar isian masalah (DIM) kepada DPR, sampai-sampai batas waktu penyampaian DIM yang seharusnya dibatasi maksimum 60 hari, telah terlampaui. Terkesan pemerintah tidak serius menuntaskan RUU tersebut. Namun di sisi lain, UU EBET ditargetkan terbit sebelum gelaran KTT G20 di Bali pada November 2022.
Ternyata salah satu penyebab keterlambatan adalah tidak solidnya lembaga-lembaga terkait memberi tanggapan dan masukan. Salah satunya adalah keinginan Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM) memasukkan ketentuan tentang skema power wheeling. Konon usulan KESDM tersebut “tidak atau belum” disetujui Kementrian keuangan (Kemkeu). Dalam hal ini sikap Kemkeu sejalan dengan sikap DPR yang sebelumnya memang tidak mencantumkan ketentuan tentang power wheeling dalam RUU yang diserahkan ke pemerintah 29 Juni 2022.
Perusahaan swasta yang dikenal sebagai Independent Power Producers (IPP) selama ini telah dibolehkan membangun pembangkit listrik dan menjual daya listriknya kepada PLN sesuai konsep multi buyers single sellers (MBSS). Dalam hal ini, yang berhak melayani dan menjual listrik kepada konsumen hanyalah PLN, meskipun dalam prakteknya, dengan alasan absurd dan sarat rekayasa, konsumen atau bisnis PLN tersebut telah digrogoti karena “diperbolehkannya” IPP berbisnis di kawasan-kawasan atau kelompok konsumen tertentu.
Setelah konsep MBSS, RUU EBT akan menambah “kemampuan” IPP untuk menjual listrik langsung kepada konsumen dimana pun berada, melalui konsep multi buyers multy sellers (MBMS) dengan skema power wheeling. Dengan demikian, meski tidak memiliki jaringan transmisi dan distribusi sendiri, pasokan listrik IPP dapat sampai kepada konsumen, dimana saja berada. Sebab, dengan skema power wheeling, IPP “diberi kesempatan” untuk memanfaatkan sarana yang dimiliki PLN untuk menjangkau konsumen dimaksud.
Ketentuan tentang Konsep MBMS dengan skema power wheeling semula tidak tercantum dalam draft RUU EBET yang dikirim DPR kepada pemerintah (29/6/2022). Ketentuan tersebut disusupkan dalam Pasal 29 A, Pasal 47 A dan Pasal 60 ayat 5). KESDM telah dengan sengaja memasukkan ketentuan siluman tersebut. Namun rencana busuk KESDM tersebut “belum” berjalan mulus di lingkungan internal pemerintah sendiri. Diharapkan Kemkeu bersikap konsisten menolak skema power wheeling, meski harus berhadapan kekuasan oligarkis, karena skema power wheeling akan meugikan negara, PLN dan rakyat sebagai konsumen listrik.
Sebenarnya, secara faktual saat ini negara dan rakyat sudah sangat dirugikan dengan kebijakan dan peraturan perlistrikan Indonesia pro oligarki yang diambil pemerintah dan “didukung atau dibiarkan” DPR. Kerugian ini terutama terjadi pada: 1) peningkatan subsidi listrik di APBN dan 2) mahalnya tarif listrik, yakni lebih mahal dari yang seharusnya jika kebijakan yang diambil sesuai konstitusi dan kepentingan mensejahterakan rakyat. Kerugian akan bertambah jika skema power wheeling diterapkan. Mengapa negara dan rakyat rugi?
Pertama, dengan konsep MBSS, IPP yang umumnya dimiliki oleh pengusaha oligarkis, dibolehkan membangun pembangkit-pembangkit listrik, dan PLN wajib membeli listrik yang diproduksi IPP. Karena biaya pokok penyediaan (BPP) listrik harus memperhitungkan seluruh daya yang dibangkitkan, maka over supply listrik swasta tersebut telah membuat BPP listrik naik, dan ujungnya rakyat konsumen listrik dan APBN harus membayar tarif lebih mahal.
Kedua, setelah wajib menerima pasokan listrik IPP, PLN pun harus membeli listrik tersebut dengan harga sesuai skema take or pay (TOP). Dengan TOP, PLN harus membeli listrik IPP lebih lebih besar dari yang dibutuhkan. Hal ini pun menambah beban biaya operasi yang berujung pada kenaikan BPP, tarif listrik dan beban subsidi APBN. Bahkan dalam kondisi kahar (force majeure) akibat pandemi korona, yang mestinya bisa menjadi alasan pengurangan beban biaya, pemerintah tak mampu memaksa IPP mengoreksi skema TOP.
Ketiga, dengan skema power wheeling, di samping over supply listrik yang telah mencapai 50% s.d 60% (seharusnya cukup sekitar 20%) tidak akan terserap atau berkurang signifikan, maka pelanggan premium PLN yang biasanya mengkonsumsi daya besar pun dan menguntungkan PLN, akan dimangsa oleh IPP. Maka, pangsa pasar atau pendapatan PLN akan turun dan sebaliknya: 1) tarif listrik akan naik, 2) kemampuan cross-subsidy PLN ke daerah-daerah terpencil atau rendah konsumen akan berkurang, dan 3) beban subsidi listrik APBN akan naik.
Keempat, pemanfaatan sarana jaringan transmisi dan distribusi PLN oleh IPP akan membuat IPP penyedia listrik EBT memperoleh untung besar (transfer profit). Padahal PLN harus menanggung beban investasi sarana tersebut secara berkepanjangan, termasuk jika kurs US$/Rp terus naik. Apalagi jika tarif power wheeling yang diterapkan sesuai daya yang disalurkan, dan bernilai “alakadarnya”, namun sekaligus mengandung unsur pemaksaan seperti pada skema TOP. Maka PLN sebagai objek berburu rente oligarki akan berlangsung massif.
Kelima, konsep MBMS dan skema power wheeling merupakan kelanjutan dari agenda “liberalisasi terselubung” kelistrikan Indonesia yang sebelumnya telah dimulai dengan konsep MBSS dan penjualan listrik kawasan dan lingkungan tertutup. Dengan MBMS dan power wheeling, liberalisiasi kelistrikan Indonesai menjadi lengkap dan sempurna. Maka rezim oligarkis dengan sangat berani dan terbuka akan mengkhianati Pancasila dan UUD 1945.
KESDM mengatakan kondisi over supply listrik tidak ada kaitan dengan implementasi power wheeling. Sebab, katanya kelebihan listrik berasal dari pembangkit eksisting yang didominasi PLTU batubara PLN sendiri (21/10/2022). Padahal pemerintahlah yang memaksa PLN membeli listrik PLTU batubara milik IPP, sehingga terjadi over supply. Bahkan dalam proyek 35.000 MW, lebih dari 90% menggunakan PLTU batubara yang mayoritas dibangun IPP. Proyek 35.000 MW dibangun setelah terbitnya PP No.79/2014 tentang Kebijakan Eneergi Nasional (KEN). Dalam KEN tersebut telah tercantum ketentuan porsi EBT 23% dalam bauran listrik nasional. Namun demi kepentingan oligarki, kebijakan tersebut tidak digubris.
Kelima alasan yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa masalah kelistrikan nasional dan tarif listrik yang mahal merupakan akibat kebijakan pemerintah yang sarat kepentingan pengusaha/IPP. Pemerintah harus bertanggungjawab! Kita bukan tidak paham tentang perlunya penyediaan energi bersih dan mitigasi perubahan iklim atau target net-zero emissions 2060. Namun target tersebut bukanlah alasan yang bisa diterima rakyat begitu saja, termasuk dengan menyeludupkan konsep liberal MBMS dan power wheeling ke dalam RUU EBET.
Pertemuan G-20 pada 15-16 November 2022 bukan pula dasar yang relevan untuk menjustifikasi penetapan UU EBET. Sangat absurd dan memprihatinkan jika kebijakan tidak adil dan menyengsarakan rakyat tersebut dijadikan ajang pamer dan unjuk gigi kampanye mitigasi perubahan iklim, serta insentif investasi bagi peserta Pertemuan G-20. Saat ini yang sangat prioritas dibutuhkan rakyat adalah penurunan tarif listrik akibat over supply pasokan listrik dan skema TOP, bukan skema power wheeling. PLN pun perlu diselamatkan dari wadah tempat berlangsungnya penghisapan uang rakyat dan APBN. Sebelum rakyat bergolak, maka segera hentikan kebijakan liberal anti UUD 1945: konsep MBMS, skema power wheeling dan turunkan tarif listrik melalui koreksi kontrak listrik IPP skema TOP.[]
Narasumber : Marwan Batubara, Direktur IRESS. Pewarta : Marsono. Editor Red : Liesnaega.