INFOINDONESIAINEWS.COM | BANDUNG BARAT, JABAR – Masa tenang Pilkada itu istilah yang terlalu optimis. Katanya, ini waktu untuk rakyat merenung, membandingkan visi-misi kandidat sambil menyeruput teh di beranda rumah. Padahal, di lapangan, masa tenang ini lebih mirip episode terakhir sinetron penuh plot twist.
Semua Pemeran sibuk dengan peranan nya masing-masing: relawan jadi kurir amplop, kepala desa jadi supervisor, tokoh agama jadi “PR spiritual,” penyelenggara jadi pelupa, dan media? Ah, media mendadak jadi penuh cinta damai dengan isi beritanya.
Bayangkan begini. Malam-malam, relawan berkumpul di rumah kepala desa, bukan untuk rapat RT, tapi untuk membahas logistik amplop. Meja penuh tumpukan amplop putih, isinya jelas bukan surat cinta.
Kepala desa, yang katanya netral, jadi manajer distribusi. “RT 2 sudah? RW 3 jangan lupa kasih lebih banyak, di sana rawan pindah pilihan.” Serius sekali. Rasanya seperti nonton persiapan perang.
Lalu ada aparat desa. Kalau kepala desa adalah manajer, aparat desa adalah staf lapangan. Mereka yang bergerak dari pintu ke pintu, mengetuk pelan-pelan sambil membawa amplop dan senyum terbaik.
Kalau ada yang tanya, jawabannya selalu standar: “Ini rezeki, Bu. Semoga bermanfaat.” Warga menerima dengan senyum tipis, kadang dengan rasa bingung: ini rezeki atau suap? Tapi siapa yang bisa menolak amplop, terutama di masa sulit?
Nah, masuklah tokoh agama. Di masa tenang, mereka ini berubah jadi bagian penting dari strategi tim sukses. Amplop sering kali disertai doa atau janji renovasi tempat ibadah. “Ini untuk umat, untuk dakwah,” kata mereka. Masyarakat yang mendengar cuma bisa mengangguk, meskipun dalam hati ada suara kecil yang bertanya, “Ini amplop duniawi atau surgawi?”
Yang bikin tambah seru adalah penyelenggara Pilkada. Di atas kertas, mereka harus netral. Tapi di lapangan? Ada saja yang lupa tugas. Amplop jalan mulus karena mereka tutup mata, atau malah ikut jadi penunjuk jalan.
Kalau ketahuan, jawabannya selalu sama: “Sulit dibuktikan.” Memang benar, keahlian terbesar mereka adalah menciptakan skenario tak terlihat. Demokrasi jadi terlihat “rapi,” walaupun isinya penuh drama.
Lalu ada media. Oh, jangan lupakan perannya. Media tahu semua ini. Tapi apa mereka mau membongkarnya? Tidak, tentu saja. Media, terutama yang lokal, sering kali bergantung pada pesanan berita dari kandidat.
Kalau mereka terlalu kritis, siapa yang akan pesan iklan? Akhirnya, mereka memilih jalan aman. Headline yang keluar selalu indah, seperti, “Warga Antusias Sambut Pilkada Damai.” Sementara amplop-amplop itu berjalan bebas, mereka pura-pura tidak melihat.
Dan terakhir, rakyat. Ah, ini bagian paling menarik. Rakyat itu cerdas, lebih cerdas dari yang tim sukses kira. Mereka menerima amplop dari calon A, B, sampai C.
Prinsip mereka sederhana: “Amplopnya rezeki, pilihannya tetap nurani.” Amplop digunakan untuk beli beras, bayar utang, atau beli pulsa. Tapi di TPS? Mereka tetap memilih sesuai hati. Demokrasi rasa pasar malam, semua dapat jatah, tapi pilihan tetap rahasia.
Jadi, masa tenang ini, kalau dipikir-pikir, tenangnya di mana? Relawan sibuk jalan, kepala desa sibuk ngatur, tokoh agama sibuk doa, penyelenggara sibuk lupa, dan media sibuk main aman.
Masa tenang ini bukan masa merenung, tapi masa marathon amplop. Tapi ya begitulah kita. Demokrasi rasa opera sabun, semua absurd, tapi entah kenapa kita selalu menikmatinya.
Dan mereka semua, para kurir amplop itu hanyalah “oknum”. Satu nama untuk banyak peran demi satu tujuan yaitu terselenggaranya opera sabun lima tahunan.
NARASUMBER OPINI : KUSNA SUNARDI. EDITOR RED: LIESNAEGHA.