INFOINDONESIAINEWS.COM | DEPOK – Miris! Itulah kata yang dapat kita ucapkan tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini. MA telah menjelma menjadi pasar gelap jual-beli perkara bagi para pencari keadilan. Hal ini disampaikan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menanggapi pengalaman pahit warga lanjut usia yang mengadukan nasibnya ke Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
“Cukup banyak oknum pemain perkara di Mahkamah Agung itu, bahkan hampir semua hakim agung dan para birokrat serta staf di sana adalah pedagang dan/atau makelar perkara. Karena mainnya abu-abu cenderung gelap, makanya saya bilang MA itu ibarat pasar gelap tempat jual-beli perkara. Siapa punya uang, dia bisa beli keadilan di gedung bercat putih itu. Akibatnya, warga miskin selalu jadi pihak yang kalah jika berperkara di MA,” tegas Wilson Lalengke yang dikenal getol membela warga terzolimi di berbagai tempat ini, termasuk dalam kasus kriminalisasi Kepala SMAN 3 Poso oleh Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, Sabtu, 4 Mei 2024.
Salah satu korban jual-beli perkara di MA yang sedang merana saat ini adalah Dewi Anggrahaeni (71 tahun), warga Depok, Jawa Barat. Dewi Anggrahaeni selaku ahli waris dari Harjo Judotomo sedang memperjuangkan hak atas tanah milik almarhum suaminya yang diserobot orang lain, yang diduga bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Depok. Perkaranya sudah dimenangkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, namun warga lansia itu harus menerima nasib dikalahkan karena tak mampu membayar sejumlah uang yang diminta oknum pegawai MA yang mengaku bernama Efriansyah dan Febri Widjayanto.
Awalnya, para oknum tersebut meminta uang muka sebesar 100 juta rupiah dari total 200 juta rupiah untuk pemenangan perkara. Uang muka tersebut kemudian turun menjadi 20 juta, sisanya dibayarkan apabila konsinyasi dari pembebasan Jalan Tol Cijago dibayarkan. Perkara ini kemudian disampaikan oleh penerima kuasa Dewi Anggrahaeni, yakni angggota PPWI Depok Rita Sari, kepada Wilson Lalengke yang juga adalah Ketua Umum PPWI.
Dalam keterangannya, Rita Sari menyebut bahwa sudah sangat jelas Dewi Anggrahaeni telah memenangkan perkara ini di Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung. Namun di tingkat kasasi di MA, perkaranya dikalahkan dengan cara yang sungguh tidak masuk akal. MA memenangkan pihak lawan dari Dewi Anggrahaeni dengan alasan bahwa Akta Jual Beli (AJB) yang dipegang Dewi hanya foto copy yang dilegalisir pihak Kecamatan.
“Jelas tidak masuk akal, apalagi sertifikat yang dimenangkan adalah bodong tidak mempunyai AJB. Pada saat Peninjauan Kembali (PK), Dewi Anggrahaeni memberikan bukti novum baru yaitu bukti keterangan bahwa AJB Justina Karinata (lawan Dewi dalam perkara ini – red) tidak terdaftar di kecamatan maupun di notaris manapun, sementara AJB Dewi Anggrahaeni walaupun hanya foto copy namun sudah dilegalisir oleh Camat karena memang terdaftar di Kecamatan Sawangan, Depok, Jawa Barat,” tutur Rita Sari, Kamis (2/5/24).
Pada suatu kesempatan, Rita Sari selaku penerima kuasa ditelpon oleh oknum yang mengaku bernama Efriansyah, mengaku stafnya Panitera Pengganti Febri Widjayanto, bahwa Panitera Pengganti ini akan menelpon dirinya terkait PK No.1305/PK/PDT/2023 yang dimohonkan oleh Dewi Anggrahaeni. Dan benar pada tanggal 8 Desember 2023 Rita menerima telpon dari Febri yang mengatakan bahwa perkara Dewi Anggrahaeni menang dan akan disidangkan pada Senin 11 Desember 2023.
Febri Widjayanto juga mengatakan kepada Rita bahwa pihak sebelah (Justina Karinata – red) meminta perkaranya dimenangkan tapi pihaknya menolak. Pada Senin 11 Desember 2023 Rita dikirimi bukti putusan perkara yang menang dan ditanda-tangani Majelis Hakim yang menyidangkan perkara Dewi Anggrahaeni vs Justina Karinata.
Namun, Rita sebagai penerima kuasa dari ahli waris diminta uang sebesar 300 juta awalnya. “Tapi Rita bilang bahwa uang di Pengadilan Negeri Depok yang masuk konsinyasi hanya 1 milyar 49 juta. Akhirnya angkanya turun, Febri Widjayanto minta 200 juta. Setelah Rita mendapat kiriman putusan melalui whatsapp, Febri Widjayanto minta uang muka sebesar 100 juta. Setelah negosiasi panjang angka itu turun hingga 20 juta, tapi karena belum ada dana juga, maka uangnya belum dibayarkan. Tiba-tiba, pada tanggal 20 Desember 2023 putusan PK Dewi Anggrahaeni terbit yang menyatakan PK ditolak,” tambah aktivis kemanusiaan yang tinggal di Depok ini.
Rita kemudian mengkonfirmasi soal bukti putusan yang dikirimkan Febri Widjayanto pada 11 Desember 2023 tersebut ke MA. Pihak MA mengatakan putusan yang dikirimkan oleh Febri Widjayanto saat meminta uang 300 juta rupiah itu adalah palsu.
“Aneh MA merupakan tempat yang tidak sembarang orang boleh masuk, tapi kenapa bisa kecolongan? Putusan berdasarkan sertifikat bodong Justina Karinata yang dimenangkan oleh MA sudah masuk ke website Mahkamah Agung dan sudah baku, artinya tidak bisa diganggu gugat lagi sampai putusan tersebut dikirimkan ke Pengadilan Negeri Depok,” ujar Rita penuh tanda tanya kecewa.
Lebih lanjut, Rita mengatakan bahwa pada saat ia dan wartawan Sinar Pagi, Anis, menemui humas MA, pihak humas MA bertanya maunya apa? Akan tetapi ketika Rita bertemu lagi dengan humas MA yang berbeda orang, pihak MA mengatakan itu sudah tidak bisa diubah, tapi bisa digugat lagi melalui PK ke-2 asalkan ada pidananya.
“Jelas itu ada pidananya karena sertifikat atas nama Justina Karinata cacat secara hukum sebab asal-muasalnya tidak jelas dan menyerobot tanah orang. Sampai kapanpun MA harus bertanggung jawab dengan putusan yang seenak udelnya itu,” tegas Rita.
Secara singkat, Rita menceritakan sejarah tanah itu yang awalnya dibeli secara kredit oleh Harjo Judotomo (Alm), suami dari Dewi Anggrahaeni (71 tahun), pada tahun 1977 dari pengembang tanah kaplingan bernama Soeparlan. Saat pembelian tanah tersebut, Harjo Judotomo menerima Surat Akte Jual Beli nomor: PM.141/17/10/12/XII/1977 tanggal 29 Desember 1977 atas nama Harjo Judotomo dari pemilik tanah asli bernama Naman Kotong (Alm). AJB tersebut dikeluarkan oleh Camat Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat. Tanah kaplingan terletak di Jl. Swadaya RT.006, RW.002, Kelurahan Limo, Kecamatan Limo (dahulu Kecamatan Sawangan, Kewedanan Depok, Kabupaten Bogor), Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Bersama lahan kaplingan lain yang dijual oleh pengembang Soeparlan, tanah kosong tersebut selama bertahun-tahun ditanami palawija oleh warga sekitar.
Masalah muncul sekitar tahun 2015 ketika ada program pembebasan lahan untuk jalan toll Cinere – Jagorawi alias Toll Cijago. Pada saat pendataan tanah yang akan dibebaskan, ternyata muncul Sertifikat Hak Milik nomor 02447/Limo atas nama Justina Karinata, Surat Ukur nomor 577/Limo/2000 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Madya Depok tahun 2001. Oleh Dewi Anggrahaeni sebagai ahli waris Harjo Judotomo, sertifikat yang diduga kuat bodong tersebut digugat ke PN Depok pada tahun 2019, dan diputus menang oleh majelis hakim. Demikian juga ketika pihak Justina Karinata melakukan banding ke PT Jawa Barat, majelis hakim banding memenangkan pihak Dewi Anggrahaeni.
Kisruh sengketa lahan tersebut tak kunjung berakhir ketika MA justru mengabulkan permohonan kasasi Justina Karinata. Walaupun alat bukti kepemilikan oleh pemohon kasasi adalah sertifikat bodong yang disinyalir merupakan hasil kerja para mafia tanah di BPN Depok, namun Justina Karinata dimenangkan oleh hakim (yang tidak) agung di tingkat kasasi.
Dewi Anggrahaeni tidak putus asa, ia mengajukan PK dengan melampirkan novum baru terkait fakta bahwa ada dugaan pemalsuan AJB atau setidaknya memberikan keterangan palsu oleh pihak Justina Karinata karena alas hak yang dijadikan dasar pembuatan SHM nomor 02447/Limo tidak terdaftar di notaris atau kecamatan/PPAT manapun di wilayah setempat. Namun, sebagaimana disampaikan di pemberitaan di atas tadi, permohonan PK wanita tua itu ditolak akibat lalai memberikan setoran 20 juta rupiah ke oknum pedagang putusan di Mahkamah nir-Agung Republik Indonesia, pasar gelap perkara ternama di tanah air tercinta ini. (TIM/Red)
Narasumber Pewarta: Syarf Al-Dhin. Editor Red: Egha.