INFOINDONESIAINEWS.COM |
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG – Kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) tambang timah yang menyeret Harvey Moeis ke meja hijau akhirnya mencapai babak akhir dengan vonis 6,5 tahun penjara. Namun, perhatian publik tidak hanya tertuju pada vonis yang dianggap ringan, tetapi juga pada pertanyaan besar yang belum terjawab: ke mana sebenarnya aliran dana CSR sebesar Rp.420 miliar yang terungkap selama persidangan?
Dana yang seharusnya digunakan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan pemulihan lingkungan, sebagian kecilnya hanya diketahui dialokasikan untuk bantuan penanggulangan COVID-19 melalui organisasi Royal Commonwealth Society (RCS). Sisanya, hingga kini, (5/1/2025) masih menjadi misteri besar. Masyarakat Bangka Belitung menuntut transparansi penuh, terutama karena daerah ini tengah menghadapi krisis ekonomi akibat ketergantungan pada tambang timah.
*Dampak Buruk Ketergantungan pada Tambang Timah*
Sektor tambang timah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Bangka Belitung justru berbalik menjadi bumerang. Penurunan produksi, baik dari tambang legal maupun ilegal, telah melumpuhkan ekonomi daerah. Lebih dari 60% pendapatan daerah bergantung pada sektor ini, sehingga ketika aktivitas pertambangan terganggu, efek domino merembet ke berbagai aspek, mulai dari pemotongan honor tenaga kontrak hingga pengurangan tunjangan pegawai.
Sementara itu, sektor lain seperti pertanian dan perikanan, yang dahulu menjadi sumber penghidupan utama, nyaris terabaikan. Kurangnya diversifikasi ekonomi menjadi masalah mendasar yang membuat Bangka Belitung rentan terhadap guncangan ekonomi. Ketergantungan pada Pajak Kendaraan Bermotor sebagai sumber pendapatan daerah juga tidak cukup untuk menambal defisit anggaran.
*Pelajaran Penting dari Kasus Tambang Timah*
Kasus ini memberikan beberapa catatan penting yang harus menjadi perhatian:
1. Potensi SDA Belum Maksimal
Royalti timah yang hanya 3% dirasa terlalu kecil dan harus dibagi dengan daerah lain. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperjuangkan kenaikan royalti hingga 10% agar manfaatnya lebih dirasakan masyarakat lokal.
2. Buruknya Tata Kelola Pertambangan
PT Timah sebagai pengelola utama dinilai gagal mengendalikan tambang ilegal, sementara banyak izin usaha pertambangan (IUP) justru dikuasai pihak luar. Ke depan, peran BUMD dan BUMDes harus diperkuat untuk memastikan dampak ekonomi langsung dirasakan masyarakat.
3. Hilirisasi di Luar Daerah
Aktivitas hilirisasi timah masih dilakukan di luar Bangka Belitung, sehingga penciptaan lapangan kerja dan manfaat ekonomi lainnya tidak dirasakan masyarakat lokal. Pemerintah perlu menegosiasikan agar proses hilirisasi dilakukan di wilayah ini.
4. CSR yang Tidak Transparan
Alokasi dana CSR menjadi sorotan besar. Dana yang seharusnya membantu masyarakat terdampak tambang justru menghilang tanpa kejelasan. Regulasi tegas diperlukan agar dana CSR benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat.
*Urgensi Mengungkap Aliran Dana CSR*
Misteri aliran dana CSR Rp420 miliar yang tidak terjelaskan harus menjadi prioritas utama. Aparat penegak hukum, bersama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), harus menelusuri aliran dana ini untuk memastikan tidak ada penyimpangan.
Jika transparansi tidak ditegakkan, Bangka Belitung berisiko menghadapi masalah yang sama di masa depan. Dana CSR yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan masyarakat malah berpotensi menjadi instrumen korupsi.
*Saatnya Bangka Belitung Bangkit*
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah dan pelaku industri tambang. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam serta dana CSR adalah kunci untuk menyelamatkan ekonomi Bangka Belitung.
Masyarakat dan pemerintah harus bergerak bersama untuk memperbaiki tata kelola, mengungkap kebenaran, dan memastikan potensi besar daerah ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Jangan biarkan kekayaan alam Bangka Belitung hanya menjadi kenangan indah di tengah kemiskinan masyarakatnya.
Narasumber Pewarta: Penulis adalah seorang kuli tinta PPWI dari Sul-Sel (Syarf Al-Dhin). Editor Red: Egha.