Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia: Peristiwa Tilang Sungguh Ajaib di Ladang Padi

  • Bagikan

JAKARTA – Sepanjang hidup, saya sudah empat kali berurusan dengan tilang polisi. Entah karena tumbuh besar di Kota Padang yang panasnya sering membuat kepala berdenyut, atau karena memang nasib saya yang selalu apes ketika bertemu Polantas, pengalaman-pengalaman itu melekat kuat dalam ingatan.

Hingga usia 35 tahun, total uang yang melayang akibat tilang mencapai 300 ribu rupiah. Tiga kali terjadi di pusat kota, satu kali di pinggiran. Tiga kali saat masih lajang, sekali setelah menikah. Tiga kali mengendarai motor bebek, sekali motor matic. Cara penyelesaiannya pun beragam: dua kali bayar di tempat, sekali dibantu kerabat polisi, dan satu kali—yang paling ajaib—selesai dengan air mata.

Dari empat kejadian itu, hanya satu yang menurut saya benar-benar razia resmi: peristiwa di Ladang Padi. Selebihnya, jujur saja, lebih mirip komedi situasi yang tak perlu terjadi.

Kejadian pertama terjadi sekitar tahun 2008. Saya dan seorang teman baru saja keluar dari parkiran Pasar Raya yang terkenal sumpek dan padat. Jalan di sana satu arah, dan pos polisi berada tepat di ujung parkiran. Saya sudah lupa aturan perboden yang berlaku waktu itu, tetapi yang jelas, ketika saya hendak melaju ke arah yang ternyata berlawanan, seorang polisi langsung menghadang. Seolah-olah mereka memang menunggu pengendara lengah untuk dijadikan mangsa.

Tanpa banyak bicara, kunci motor saya dicabut di tengah keramaian. Kami disuruh ke pos, dan tentu saja diminta menunjukkan kelengkapan surat. Sialnya, STNK tidak ada. Ditambah dianggap melanggar perboden, saya harus merelakan 150 ribu rupiah melayang. Padahal uang itu rencananya untuk membeli baju lebaran. Saya hanya bisa menggerutu dalam hati. Itulah momen pertama “keperawanan” saya sebagai pengendara hilang—ditilang untuk pertama kalinya sejak lahir.

*Tilang Kedua: “Kami Bukan Robot, Dek”*

Empat tahun kemudian, 2012, saya kembali kena tilang. Saat itu saya hendak ke Bukittinggi bersama seorang teman kuliah. Lokasinya masih sekitar Pasar Raya, tepat di simpang dekat bangunan lama SMA 1 Padang. Setelah saya belok kanan menuju kantor gubernur, seorang polisi tiba-tiba mengejar dan menyuruh saya kembali ke pos. Katanya saya melanggar marka jalan.

Yang membuat saya kesal, kondisi jalan saat itu kosong, dan banyak pengendara lain melakukan hal yang sama. Saya protes, “Kok saya saja yang ditilang? Banyak yang melanggar juga.” Polisi itu menjawab santai, “Kami bukan robot, dek.” Jawaban yang entah harus saya tertawakan atau tangisi.

Akhirnya, meski surat-surat lengkap, saya tetap harus merelakan 150 ribu rupiah berpindah tangan. Saya mengakui kesalahan saya, tetapi tetap saja terasa janggal. Kalau polisi bisa mengejar saya sejauh 300 meter, kenapa tidak sekalian memberi teguran saja? Lagi-lagi, pengalaman yang terasa lebih lawak daripada mendidik.

*Tilang Ketiga: Diselamatkan Kerabat Polisi*

Tilang ketiga terjadi pada 2019, lagi-lagi di bulan Ramadhan. Saat itu saya bekerja di sebuah percetakan dan hendak mengambil barang di sekitar Pasar Raya. Di jalan sempit yang biasanya aman dari polisi, saya tiba-tiba berpapasan dengan seorang petugas. Jalan itu ternyata perboden.

Kembali, saya dihadang. STNK motor Beat milik toko disita, dan saya diminta menyusul ke pos yang jaraknya sekitar dua kilometer. Karena kesal, saya memilih kembali ke toko dulu. Setelah izin pulang, saya menghubungi kerabat saya, Bang Anto, yang kebetulan polisi.

“Katakan saja dari abang. Cari polisi bernama Isan,” katanya.

Saya pun pergi ke pos dan menemui polisi yang dimaksud. Di depan komandannya, ia melakukan lobi kecil, dan akhirnya STNK dikembalikan. Saya lega, meski rasa haus di bulan puasa semakin menjadi-jadi. Lagi-lagi, peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi.

*Keajaiban di Ladang Padi, Kuasa Tuhan?*

Inilah peristiwa paling berkesan, terjadi pada tahun 2013 di Pos Ladang Padi, dekat Taman Raya Bung Hatta. Sore itu, selepas shalat Ashar, saya dan beberapa teman dalam perjalanan menuju Solok Selatan untuk menghadiri baralek. Dari kejauhan, saya melihat banyak pengendara disuruh menepi. Saya santai saja, karena empat motor teman saya lolos tanpa masalah.

Namun ternyata saya yang disuruh berhenti. Belasan motor ditahan. Saya tidak tahu razia apa itu. Ketika giliran saya, upaya lobi gagal total. STNK tidak dibawa teman saya yang meminjamkan motor. Kunci, SIM, dan KTP saya ditahan. Sinyal telepon pun buruk, membuat saya tak bisa menghubungi siapa pun.

Dalam kondisi pasrah, saya mengambil wudhu di kamar kecil pos. “Pak, di mana arah kiblat?” tanya saya. Polisi itu menjawab, “Shalat saja di belakang.” Maka saya pun shalat hajat di belakang pos, beralaskan sarung. Saat berdoa, air mata saya pecah. Saya benar-benar tidak berdaya. Hanya berharap pertolongan Allah.

Usai shalat, saya menyuruh teman saya banyak berzikir. Saya pasrah sepenuhnya. Namun keajaiban datang tak sampai sepuluh menit kemudian. Seorang polisi memanggil saya.

“Dek, sini.”

Dengan wajah ramah, ia mengembalikan SIM, KTP, dan kunci motor. Ia hanya berpesan agar saya selalu membawa STNK saat berkendara. Saya tertegun. Hati polisi itu luluh, entah karena apa. Yang jelas, saya yakin air mata dalam doa saya tadi menjadi jalan terbukanya pintu kemudahan.

Saya melanjutkan perjalanan tanpa denda, tanpa ribut-ribut, tanpa uang melayang. Hanya rasa syukur yang mengalir deras. (*)

Narasumber Pewarta: Penulis adalah seorang karyawan di Sumatera, peserta lomba menulis bertema “Pengalaman Buruk dengan Polisi Indonesia”. Informasi lengkap terkait lomba di sini: https://bit.ly/4opwDVZ_ / Ketum PPWI Wilson Lalengke S.Pd.,M.Sc.,MA. Editor Red: Egha.

  • Bagikan