infoindonesiainews.com | JUM’AT, 3 NOVEMBER 2023.
JAKARTA | Tiga king-maker, itu yang senyatanya sedang “adu strategi” untuk memenangkan pemilu mendatang. Surya Paloh, Megawati dan Jokowi. Mau diperlembut dengan euphemisme seperti “hubungan mereka baik-baik saja kok” ya boleh-boleh saja. Dan memang semestinya begitu. Rivalitas dalam pilpres tak perlu menjadi permusuhan yang mendalam, apalagi turun temurun.
Tidak ada pilihan yang ideal. Dalam prinsip moral disebut kondisi ‘minus malum’ (harus memilih diantara pilihan-pilihan buruk yang tersedia). Tentu kita akan memilih yang paling sedikit buruknya. Tidak ideal memang, tapi itulah realitas yang diperhadapkan pada kita.
Paling sedikit konstelasi buruknya, yang diperlengkapi dengan daya kritis publik (kontrol sosial) diharapkan pemerintahan berikutnya masih bisa berjalan dalam rel yang semestinya.
Masing-masing king-maker ini membawa tiga pasang capres-cawapres yang akan dikonteskan. Ya, ini kontestasi, adu cantik bukan adu jotos ala gladiator di arena pasir. Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, lalu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Siapa diantara pasangan ini yang kita anggap paling bisa meneruskan kinerja baik pemerintahan yang sekarang. Karena kita tahu pemerintahan Jokowi punya approval-rate paling tinggi di dunia di akhir masa jabatannya.
Kita para penonton sekaligus pemandu sorak berada di pinggiran “cat-walk”, tempat mereka bertiga berlenggak-lenggok. Boleh bersorak sorai, namanya juga para pemandu sorak, tapi tetap dalam koridor etika, jaga etiket, tingkah laku kepantasan sebagai manusia politik yang sama-sama sedang mengawal ‘bonum-publicum’ (kesejahteraan bersama).
Kontestan pertama diorkestrasi oleh Surya Paloh. Pasangan Anies Bawedan dan Muhaimin Iskandar ada dalam perahu besar Nasdem dengan nakhoda Surya Paloh. Sedangkan PKB dan PKS adalah dua sekoci yang mengawalnya.
Di tengah badai korupsi BTS yang de-facto dan de-jure sedang menerpa kapal besar mereka, Surya Paloh harus bermanuver sedemikian rupa agar kapal besar mereka tidak terbentur karang raksasa yang bakal membuat armada mereka hancur berkeping-keping.
Konstestan kedua terdiri dari para petugas partai yang dikomandani oleh Megawati. Kapal besar mereka adalah PDIP dengan PPP dan Hanura serta Perindo sebagai ponggawa-ponggawa kecil yang mesti taat perintah komandan besar. Patuh atau keluar dari koalisi.
Isu besarnya soal ‘kontrak-politik’ yang telah mengikat tangan dan kaki capresnya. Perkara ijon kekuasaan seperti ini yang kabarnya telah membuat Jokowi “pecah-kongsi” dengan bohir maupun kandidat dari kubu ini. Ia tak mau menggadaikan masa depan bangsa kepada sekawanan piranha yang siap menggerogoti APBN.
Korupsi BTS yang sekitar 8 triliun itu baru terungkap setriliun. Kemana atau kepada siapa yang tujuh triliun lagi mengalir? Belum jelas. Dimakan siapa? Kabarnnya ada petinggi dari parpol (atau yang terkait dengan petinggi parpol) yang menyikat itu semua.
Korupsi BTS ini sketsa betapa destruktif, dan licinnya para penghisap uang rakyat. Sementara ini Johny Plate dan segelintir boneka stromboli yang harus ditersangkakan. Aktor besar lainnya masih berada dalam perlindungan kekuasaan politik partai.
Kontestan ketiga (diduga) diorkestrasi oleh Jokowi. “Tepaksalah” ia memasangkan Gibran sebagai pendamping mantan rivalnya dua kali dalam konstasi pilpres, Prabowo Subianto. “Terpaksalah” karena Gibran adalah kompromi diantara ketua umum partai koalisi.
Setelah masuk dalam kabinet akhirnya Prabowo langsung mengalami sendiri bagaimana kepemimpinan Jokowi diselenggarakan pada instansinya yang pertama. Pengalaman langsung.
Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuda, dan PSI akhirnya membentuk koalisi Indonesia Maju. Partai mana yang jadi kapal besarnya Jokowi, tidak jelas, atau mungkin memang tidak ada.
Perjalanan menuju pembentukan tiga kontestan dalam pilpres ini tidaklah sederhana. Masing-masing tentu boleh saja saling mengunggulkan kandidatnya sendiri. Tapi kita akhirnya melihat, mana dari ketiga konstelasi kontesan ini yang paling bisa dipercaya.
Ya, pada akhirnya berujung pada pertanyaan: konstelasi mana yang paling bisa kita beri kepercayaan? Sekali lagi, konstelasinya dengan pertimbangan king-maker-nya (Surya Paloh, Megawati dan Jokowi), di tengah tantangan geo-strategis ada.
Itu semua untuk menyongsong 2045, Indonesia emas. Mari berpikir dan mempertimbangkanya dengan tenang dan matang.
Narasumber Pewarta : Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. Editor Red: Liesnaega.