INFOINDONESIA – JAKARTA|“Polemik” antara PPATK versus Kementerian Keuangan disudahi dengan pernyataan Menkeu Sri Mulyani. Ia minta PPATK menjelaskan segamblangnya langsung kepada masyarakat soal transaksi janggal senilai Rp 300 triliun itu.
Bahkan meminta PPATK buka data siapa saja sih yang terlibat dalam transaksi janggal tersebut. Supaya dengan begitu Menkeu bisa melakukan penindakan terhadap mereka.
Dokumen yang selama ini dikirim oleh PPATK tidak lengkap (kabarnya sudah 200 kali dikirim). Sehingga dia tidak tahu detail mengenai persoalan Rp 300 triliun itu ngitungnya dari mana, transaksinya apa saja, siapa saja yang terlibat.
Okelah, sekarang Menkeu sudah membuka diri untuk diperiksa dan memeriksa secara langsung soal transaksi janggal itu. Menkopolhukam bilang itu bukan dari korupsi, tapi pencucian uang. Pencucian uang? Lalu kenapa mesti dicuci? Apakah kotor sehingga perlu dicuci bersih? Hmmm…
Sambil menunggu RUU Perampasan Aset dan Pembuktian Terbalik Harta Pejabat diproses dan disahkan oleh parlemen (DPR-RI), kita mesti bersikap.
Masyarakat sebetulnya dari sekarang sudah bisa menjatuhkan hukuman sosial kepada para penggarong duit negara cq duit rakyat itu.
Tentu bukan dengan tidak membayar pajak, tapi dengan memberi sangsi sosial terhadap perilaku asosial pejabat-pejabat korup itu.
Negara memungut pajak dari rakyat, maka negara yang diwakili para aparatnya bertanggungjawab kepada rakyat. Karena itu sudah sewajarnyalah para aparat, terutama yang level pejabat, senantiasa merefleksikan posisi mereka pada mereka yang direpresentasikannya.
Bukan dengan asyik mengagumi tampilan diri sendiri di media sosial. Narsis, dengan aksesoris atau pajangan barang-barang mahal. Para istri, anak, famili bahkan sampai si pejabat itu sendiri yang bergaya di Instagram.
Heran, dimana etika atau bahasa terangnya: urat malu mereka? Segala yang dipamerkan itu jauh melebihi kapasitasnya sebagai pegawai negeri.
Serba eksesif, berlebihan dan akhirnya malah takabur. Norma kepantasan ditabrak seenaknya. Kata malu tidak ada dalam kamus kehidupannya. Atau tepatnya timbul tenggelam, buktinya sekarang banyak akun Instagram mereka yang dihapus.
Sebelumnya, masyarakat dibuat melongo melihat tontonan seperti itu, seolah dihipnotis oleh tampilan-tampilan yang hedonis.
Permukaan, topeng, bukan aslinya begitu, tidak genuine. Yang palsu dipersepsi sebagai prestasi, mental keparat dicerna sebagai hebat. Padahal itu semua semu, Cuma hasil korupsi kok dibangga-banggain.
Apresiasi terhadap capaian yang genuine, hasil upaya mandiri lewat kerja keras dan kerja cerdas seolah tertutupi oleh bisingnya propaganda konsumerisme yang serba instan. Semua serba cepat, tidak sabaran atau telaten.
Kenapa kita hanya mampu mencerna hal-hal yang seperti itu. Dimana kedalaman berpikir? Melihat sesuatu yang ada dibalik yang tampak. Di balik topeng-topeng.
Apakah malu untuk tampil apa adanya? Eksistensi diri yang asli haruskah ditutupi dengan sesuatu yang palsu?.
Narasumber Pewarta:
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. Editor Red: Liesnaega.