INFOINDONESIA – PANGANDARAN, JABAR |Anggaran puluhan milyar pada pengadaan internet fiber optic domestic kecepatan 40 Mbps tahun 2020-2021, program dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran, dianggap tidak efektif dan efisien, sehingga patut diduga ada potensi terjadinya kerugian keuangan daerah,” ungkap salah satu aktivis yang dikenal selalu kritis, Anton Rahanto, ketika menyampaikan statementnya kepada awak media, perwakilan dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Rabu (1/3/23).
Hal itu, lanjut Anton, terlihat dari beberapa fakta di lapangan, di antaranya mengenai pemasangan internetnya diduga terkesan asal pasang di kantor kordinator wilayah (Korwil) dan sekolah-sekolah yang notabene sekolah dan kantor korwil tersebut kebanyakan sudah memiliki jaringan internet dari penyedia provider lain. “Disdikpora diduga memaksakan dan terkesan tidak punya kriteria, mana yang urgensi harus dipasang dan mana yang tidak,” ujarnya.
Selain itu, sambung Anton, harganya terbilang mahal ketika dibandingkan dengan penyedia yang sebelumnya sudah ada di Pangandaran. “Harga dari penyedia Dinas Pendidikan, satu titiknya 40 Mbps mencapai kisaran 18 juta perbulan, sementara harga dari penyedia yang sebelumnya sudah ada terpasang di sebagian sekolah dan di kantor korwil, yaitu mahalnya kisaran 300 sampai 600 ribu perbulan. Paket dedicated atau domestiknya pun terbilang harganya standar. Melihat di e-catalog LKPP, seperti di icon+anak cabang dari PLN yang domestic FO 40 Mbps itu harganya kisaran 9 juta perbulan, belum lagi ada yang dari Indihome anak cabang dari Telkom dan banyak lagi penyedia perusahaan lain yang harganya relatif murah. Artinya, jika diperbandingkan harga itu sangat-sangat jomplang. Kenapa Disdik tidak memilih yang lebih murah, maka patut diduga adanya unsur kesengajaan dalam persekongkolan,” cetusnya.
Sementara, untuk kebutuhan di sekolah-sekolah dan kantor Korwil dirasa juga sudah cukup ketika memakai internet seperti Indihome dan lain sebagainya, yang harganya relatif murah. “Hal ini terbukti dengan adanya sekolah-sekolah yang mandiri memasang internet sendiri biayanya dari dana BOS, aman-aman saja, tidak adanya kendala. ANBK pun lancar dijalankan,” tuturnya.
Belum lagi, beber Anton, pemakaian internet di tiap sekolah rata-rata sekitar 9-10 Mbps dari 40 Mbps. “Artinya, kurang lebih 30 Mbps tidak terpakai, sementara Dinas Pendidikan membayarnya full 40 Mbps harga kurang lebih 18 juta perbulan, kontrak selama satu tahun. Atas hal itu, kami menduga adanya potensi kerugian keuangan yang timbul akibat Dinas Pendidikan tidak mengidentifikasi terlebih dahulu atas pemakaian internet di sekolah-sekolah secara riil. Perencanaannya pun patut dipertanyakan, sebab kejadian ini beruntun dua tahun, tahun 2020 dan 2021,” terangnya.
Menurut Anton, dugaan tersebut menjadi asumsi kuat dengan adanya data temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021, yaitu di antaranya; “Penganggaran pengadaan internet 40 Mbps dedicated tidak didukung identifikasi kebutuhan, pemilihan penyedia tidak didahului dengan survei harga dari penyedia lain untuk memperoleh harga dan layanan yang paling menguntungkan, rata-rata kuota internet yang terpakai pada SDN hanya 9,39 Mbps dari 40 Mbps yang diadakan, sehingga pemborosan keuangan daerah sebesar Rp11.945.748.000,00, pengadaan internet 40 Mbps untuk 10 kantor Korwil tidak tepat sasaran, sehingga pemborosan keuangan daerah sebesar Rp2.226.000.000,00,” jelasnya.
Sebagimana diketahui, di Kabupaten Pangandaran ada 282 SDN dan 37 SMPN. Pada tahun 2020-2021, Dinas Pendidikan telah mengadakan layanan internet kontrak satu tahun, yang dipasang tahun 2020 dan 2021 ada 131 titik sekolah dan 10 titik kantor Korwil, jumlah totalnya yaitu ada 141 titik, dengan masing-masing satu titiknya harga sebesar Rp18.550.000,00 perbulan.
Pada tahun 2020 ada 52 titik sekolah yang dipasang, yaitu 37 SMPN dan 15 SDN. Sementara pada tahun 2021 ada 89 titik yang dipasang, yaitu 79 SDN dan 10 kantor Korwil. Pengadaannya dilakukan melalui e-catalog, tahun 2020 dimenangkan oleh PT SJM dan tahun 2021 dimenangkan oleh PT CJI, masing-masing kontraknya selama satu tahun.
Ditambah lagi 2 titik yang dipasang di Kantor Dinas Pendidikan selama 12 bulan oleh PT SJM. Sementara yang 2 titik di kantor Dinas Pendidikan harganya berbeda, sebab satu titik internetnya 50 Mbps internasional dan satu titik lagi 100 Mbps domestik. Harganya Rp24.300.000,00 perbulan untuk yang 50 Mbps internasional, dan Rp52.254.000,00 perbulan untuk yang 100 Mbps domestik, jangka waktunya selama satu tahun, dari Desember 2020 sampai Desember 2021.
“Jika dikalkulasikan, akan muncul angka yang sangat fantastis hanya untuk pengadaan internet fiber optik tersebut, yaitu;
141 titik X Rp18.550.000,00 X 12 bulan = Rp31.386.600.000,00
1 titik X Rp24.300.000,00 X 12 bulan = Rp291.600.000,00
1 titik X Rp.52.254.000,00 X 12 bulan = Rp627.048.000,00
Jumlah totalnya, Rp31.386.600.000,00 + Rp291.600.000,00 + Rp627.048.000,00 = Rp32.305.248.000,00 (tiga puluh dua milyar tiga ratus lima juta dua ratus empat puluh delapan ribu rupiah),” urai Anton.
Anton memaparkan, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, yaitu menunjukkan bahwa usulan anggaran untuk pengadaan internet fiber optic domestic kecepatan 40 Mbps tersebut, tidak disertai dengan identifikasi kebutuhan. Kerangka acuan kerja (KAK) yang dibuat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) hanya berisi uraian secara umum tentang rencana pengadaan internet. KAK tidak menguraikan perhitungan kebutuhan internet riil persekolah dan kantor Korwil
berdasarkan data-data atau informasi yang relevan dikaitkan dengan penilaian prioritas (efisiensi) dan tujuan/kegunaan pengadaan internet tersebut (efektivitas). KAK juga
tidak menguraikan hasil identifikasi terkait kriteria sasaran/penerima manfaat,
mekanisme penggunaan, kesiapan prasarana dan sarana pendukung, konsep
keberlanjutan pemanfaatan (jangka pendek, menengah, panjang) dan kesiapan siswa (pihak pengguna).
Keterangan dari PPK kepada BPK, bahwa pengadaan internet fiber optic
40 Mbps tersebut (dhi. Sekdis Disdikpora
pada saat perencanaan pengadaan, saat pemeriksaan menjabat sebagai Kepala Dinas Disdikpora), diketahui harga pertitiknya sebesar Rp18.550.000,00 perbulan untuk 79 SDN dan 10 kantor
Korwil, didasarkan atas kebutuhan untuk mendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ)
selama pandemi Covid-19 dan menunjang pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis
Komputer (ANBK) Tahun 2021, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Menurut Anton, penjelasan PPK tersebut terbantahkan saat BPK melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pihak sekolah, baik yang berlokasi di daerah perkotaan (Kec. Pangandaran, Kec. Parigi dan wilayah lainnya) maupun di daerah pelosok (Kec. Langkaplancar dan wilayah lainnya). Dari hasil konfirmasi, diketahui bahwa PJJ tidak akan mungkin dilaksanakan karena sebagian besar siswa belum mempunyai perangkat yang diperlukan untuk PJJ, seperti laptop, tablet, gawai dengan spesifikasi tertentu maupun koneksi internet. Selain itu, pada tahun 2021 proses pembelajaran untuk SDN telah memberlakukan 50% pembelajaran tatap muka. Pada saat pembelajaran secara tatap muka, siswa menerima pelajaran dari guru di sekolah selama sekitar 6 jam (06.00 s.d. 12.00 WIB).
“Selanjutnya, SDN yang tidak memperoleh hasil pengadaan internet fiber optik domestic 40 Mbps dedicated tersebut tetap mengikuti ANBK dengan pengadaan internet secara mandiri menggunakan dana BOS dengan membeli layanan internet dari provider yang tersedia di masing-masing daerah. Selain itu, ANBK tahun 2021 untuk SDN dilaksanakan hanya dua hari pada bulan November 2021 dengan rangkaian kegiatan ANBK dari mulai simulasi, gladi bersih dan pelaksanaan, keseluruhan membutuhkan waktu sekitar 23 hari. Dengan demikian, tanpa pengadaan internet fiber optic domestic 40 Mbps dedicated tersebut, sekolah tetap dapat mengikuti ANBK menggunakan fasilitas internet yang secara mandiri telah tersedia dengan pembiayaan dari dana BOS yang diterima sekolah setiap tahun.” Beber Anton menyampaikan beberapa hasil dari temuan BPK.
Menyikapi persoalan tersebut, Ketua Organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, menilai bahwa pengadaan internet fiber optic 40 Mbps tersebut bukan hanya dianggap adanya pemborosan. “Hasil investigasi lapangan dan menganalisa data dari BPK, kami menilai bukan hanya sekedar ada pemborosan, tapi diduga merugikan keuangan yang berpotensi korupsi. Hal tersebut terlihat dari cara-cara yang dilakukan, di antaranya seperti pemasangan internetnya di lokasi yang sebelumya sudah terpasang internet, keseragaman pemasangan internetnya 40 Mbps, diduga pemasangan internet di kantor Korwil tidak tepat sasaran, diduga tidak malakukan survei harga atau memilih harga termurah yang lebih menguntungkan, dan perencanannya tidak matang. Artinya, ini terindikasi bukan hanya sebuah kealpaan administrasi saja, tapi ini suatu perbuatan yang patut diduga adanya unsur kesengajaan dalam persekongkolan dari sebelumnya,” ujarnya.
Mengenai adanya dugaan kerugian negara, kata Agus, salah satunya diatur dalam Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 59 ayat (1) yang menjelaskan, ‘bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan’, tambahnya.
Menyinggung soal perencanaan, Agus mengatakan, bahwa Dinas Pendidikan diduga tidak mengindahkan Peraturan LKPP No. 11 Tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Salah satu di antaranya menyebutkan, bahwa dalam perencanaan harus melakukan identifikasi kebutuhan barang dan jasa. Sebagaimana diketahui, Identifikasi kebutuhan adalah suatu usaha dalam mencari, mengumpulkan, meneliti serta mencatat data dan informasi tentang kebutuhan barang dan jasa,” imbuhnya.
Selain itu, sambung Agus, dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, Pasal 18 ayat (1) menyatakan, bahwa perencanaan pengadaan meliputi
identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara, jadwal, dan anggaran
pengadaan barang/jasa. “Artinya, sangatlah jelas bahwa perencanaan merupakan tonggak yang sangat penting. Sementara dengan basic ilmu dari jabatan PPK tentunya juga pasti sudah mengetahui tentang teknis dan mekanismenya. Namun pada kenyataanya, PPK diduga tidak mengindahkan aturan tersebut,” ucapnya.
Maka dari itu, tegas Agus, dengan menjunjung tinggi dan mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), kami sebagai bagian elemen masyarakat merasa berkepentingan untuk mengawal dan memantau jalannya setiap program pemerintah, serta kinerja aparatur negara yang sesuai dengan tugas dan fugsinya dalam menjalankan amanat konstitusi.
“Hal ini dilakukan, semata-mata demi mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dari praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (good governance). Juga masih dalam koridor Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tandasnya.
Di tempat terpisah, salah satu praktisi hukum di Jakarta, Bismar Ginting, SH., MH., mengatakan, bahwa setelah mencermati Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2021, terkait pengadaan internet fiber optic domestic kecepatan 40 Mbps dedicated, dengan harga 18 juta dianggap tidak rasional ketika dibandingkan dengan penyedia lain yang sepesifikasinya sama harganya jauh lebih murah. Intinya ada di perencanaan awal dan pemilihan penyedia yang harus benar-benar teliti memilih yang menguntungkan sehingga tercipta efektif, efisien.
“Di antaranya penjelasan BPK yang menyebutkan, bahwa harga dengan 18 juta lebih perbulan/persekolah untuk kebutuhan internet 9,39 Mbps yang disebabkan tidak adanya evaluasi dari penentuan sebelumnya 40 Mbps, adalah tidak wajar. Dengan adanya kata tidak wajar tersebut, diprediksi adanya dugaan kerugian negara. Dugaan kerugian keuangan negara bisa juga disebabkan atas unsur kesengajaan ataupun lalai. Berangkat dari hal tersebut, maka kami akan mendesak dan meminta kepada BPK RI harus tinjau ulang kembali, dengan cara melakukan Audit Forensik,” ringkas Bismar Ginting, SH., MH., menutup pembicaraannya dengan nada tegas ketika dikonfirmasi lewat sambungan telepon.
Berdasarkan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi selalu memberikan ruang untuk menggunakan hak jawab dan koreksinya yang selanjutnya akan ditayangkan pada segmen berita berikutnya. (Red***)
NARASUMBER PEWARTA: AGUS CHEFY KURNIADI. EDITOR RED: LIESNAEGA.