INFOINDONESIAINEWS.COM |
KENDARI – PT. Wijaya Nikel Nusantara (WNN) diduga melakukan penjualan nikel tanpa memiliki dokumen Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB).
Penjualan tersebut dilakukan pada tahun 2022, PT. WNN menjual nikel sebanyak 41.646,78 Ton tanpa mendapatkan sanksi dan diproses hukum.
Terkait hal itu, PT. Wijaya Nikel Nusantara disorot oleh Direktur Eksekutif Jaringan Masyarakat Berantas Korupsi (JASBARU), Manton. Selasa, 06/08/2024.
Untuk diketahui, PT. WNN dengan Nomor IUP 70 Tahun 2010 adalah salah satu perusahaan tambangan yang beroperasi di Pomalaa, kabupaten Kolaka, provinsi Sulawesi Tenggara.
Manton menyatakan bahwa pada tahun 2022 PT. WNN diduga melakukan penjualan tanpa memiliki dokumen RKAB.
Lanjut Manton, menurutnya, PT. WNN memiliki dokumen RKAB pada Tanggal 15 Maret 2022, sementara PT. WNN melakukan pengapalan pada Tanggal 3 Januari 2022.
Dengan adanya kejadian itu, Syahbandar Pomalaa dinilai ada indikasi dugaan kongkalikong dengan PT. WNN. “masa iya syahbandar pomalaa tidak mengetahui adanya pengapalan tersebut yang dilakukan oleh PT. WNN, apalagi tanpa dokumen RKAB,” kata Manton.
“Kan aneh PT. Wijaya Nikel Nusantara bisa melakukan pengapalan tanpa adanya Surat Izin Berlayar (SIB) dari pihak syahbandar pomalaa, ada apa dengan syahbandar ?” sambung Direktur Eksekutif JASBARU.
Masih yang sama, dengan adanya kasus tersebut, Manton meminta kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara agar segera memanggil dan memeriksa Komisaris dan Direktur PT. Wijaya Nikel Nusantara (WNN) beserta memeriksa Syahbandar Pomalaa terkait lolosnya pengapalan yang dilakukan PT. WNN yang dimana saat itu tidak memiliki RKAB.
Selanjutnya, kata Manton pihaknya juga bakal membeberkan beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. WNN terkait Reklamasi pada tahun 2013 s/d 2017 lalu dan terkait penetapan dan penempatan anggaran Pascatambang.
Selain itu, termaksud pembuatan drainase dan kolam sedimen yang tidak sesuai dengan rencana reklamasi. Pungkasnya, Bersambung
NARASUMBER PEWARTA: MANTON. EDITOR RED : LIESNAEGHA.