INFOINDONESIAINEWS.COM | JAKARTA – Pemeriksaan atau tes urine alias air kencing terhadap seseorang sering dilakukan, terutama di rumah sakit. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan dan mendeteksi jenis penyakit dan tingkat kegawatannya melalui cairan tubuh sang pasien yang diperiksa petugas kesehatan. Selain tes urine, untuk kasus penyakit tertentu, dokter sering kali juga melakukan pemeriksaan feses atau tinja pasien.
Dalam konteks tes urine untuk keperluan kesehatan, hal ini jarang berimplikasi kepada nilai moral dan atau etika. Pemeriksaan urine untuk kesehatan semata-mata demi perbaikan dan peningkatan serta menjaga kesehatan seseorang. Artinya, tes urine tidak berdampak pada persoalan hukum atas proses dan hasil tes tersebut.
Beda halnya dengan tes urine yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya unsur tertentu dalam cairan kencing, seperti unsur narkotika dan obat terlarang lainnya. Tes urine seperti ini pasti berdampak pada persoalan hukum, baik proses tes urine-nya maupun hasil tes urine tersebut.
Tes urine terhadap masyarakat umum, yang mungkin awam terhadap ilmu pengetahuan, kedokteran dan kesehatan, serta koridor hukum yang mengatur tentang obat-obat terlarang, hal ini dapat dipahami sebagai sebuah proses yang wajar. Warga biasa pun pada umumnya tidak mempersoalkan proses pemeriksaan urine yang dilakukan terhadap mereka.
*Tes Urine Bagi APH*
Namun, bagaimana dengan tes urine bagi mereka yang bekerja sebagai penegak hukum, semisal anggota Kepolisian, aparat Badan Narkotika Nasional, dan para pekerja di bidang hukum lainnya, termasuk pengacara? Apakah tes urine patut dianggap hal biasa dan pantas untuk dilakukan terhadap mereka?
Sebuah aturan hukum dibuat dan diberlakukan bertujuan mengatur perilaku seseorang agar tidak menyimpang atau melanggar norma-norma sebagai prasyarat keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Norma-norma yang hidup di tengah masyarakat perlu dikodifikasi atau dibakukan dalam bentuk aturan hukum seperti yang dituangkan dalam peraturan perundangan. Pelanggaran atas sebuah peraturan perundangan akan diberikan sanksi hukum.
Pemegang kewenangan hukum yang akan memproses setiap pelanggaran hukum oleh anggota masyarakat adalah mereka yang kita sebut Aparat Penegak Hukum (APH). Secara umum, termasuk kelompok APH adalah polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Mereka yang diberi tugas dan kewenangan yang berkaitan dengan penegakan UU juga masuk dalam kelompok APH, seperti para petugas di KPK, BNN, TNI, Ombudsman, badan-badan pemeriksa, inspektorat, dan sejenisnya. Tidak terkecuali, para pembuat UU dan peraturan, seperti DPR dan lembaga Kepresidenan bersama jajaran kementerian merupakan kelompok APH. Plus, para ASN dan mereka yang ditugaskan oleh negara menjalankan perundang-undangan, masuk dalam kelompok APH dalam konteks yang lebih luas.
Normalnya, seluruh APH adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perundangan yang ada di negara ini dan diterapkan di tengah masyarakat. Tidak hanya itu, setiap APH haruslah orang yang memiliki sikap dan karakter sebagai sosok manusia bermoral dan berahlak mulia, lebih daripada warga masyarakat pada umumnya. Semua orang yang masuk dalam jajaran APH dipastikan telah melalui seleksi khusus yang di dalamnya termasuk tes sikap mental, moralitas, dan perilaku.
*Kewajiban Tes Urine APH*
Dalam konteks penegakan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya pelanggaran pasal-pasal terkait pelarangan penggunaan narkotika, tes urine terhadap seseorang bertujuan untuk mengetahui apakah terperiksa urine melakukan pelanggaran UU 35/2009 atau tidak? Pemeriksaan urine wajib dilakukan ketika pengakuan terperiksa urine tidak bisa dipercaya.
Dengan premis tersebut, tes urine terhadap APH menunjukkan adanya ketidakpercayaan pemeriksa atas pengakuan verbal si APH tersebut. Artinya juga, APH yang menjalani pemeriksaan urine terkait dengan UU 35/2009 adalah kelompok aparat yang tidak bisa dipercaya.
Jadi, pantaskah tes urine, yang menggunakan uang rakyat pembayar PPN 12% itu, dilakukan terhadap APH? Jawaban tegasnya adalah ‘Pantas! Sebab mereka adalah golongan manusia yang bukan saja tidak bisa dipercaya, tetapi juga tidak punya rasa malu sebagai orang yang tidak bisa dipercaya’. Namun, bagi manusia jujur, bermoral dan berahlak, tes urine adalah haram hukumnya. (*)
Narasumber Pewarta: Penulis adalah Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ( Wilson Lalengke S.Pd.,M.Sc.,MA).
Editor Red : Egha.